SEJARAH
PONDOK PESANTREN BAHRUL ‘ULUM
TAMBAKBERAS
JOMBANG
Pondok
Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang merupakan salah satu pondok
pesantren tertua dan terbesar di Jawa Timur yang hingga saat ini masih survive
di tengah kecenderungan kuat system pendidikan formal. Dengan kultur dan
kesederhanaan yang mandiri serta dekat dengan masyarakat. Pondok Pesantren
Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang terus melakukan pengembangan dan perubahan
seiring dengan dinamika perkembangan dan tuntutan global, dengan tetap
mempertahankan nilai-nilai luhur kepesantrenan dan prinsip-prinsip Ahlus
Sunnah Wal Jama’ah.
1.
Sejarah
Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang
Generasi I (Era Rintisan)
Sekitar tahun
1825 Masehi di sebuah daerah di Jombang, tepatnya di Dusun Gedang datanglah
seorang ulama’ bernama Abdussalam, beliau adalah salah satu dari sekian
prajurit yang berperang melawan penjajah bersama Pangeran Dipenogoro. Beliau
juga adalah keturunan Raja Brawijaya dari Kerajaan Majapahit, dengan silsilah
sebagai berikut : Abdussalam putra Abdul Jabbar putra Abdul Halim (Pangeran
Benowo) putra Abdurrohman (Jaka Tingkir).
Kedatangan
Abdussalam ke desa ini merupakan pembuka daerah tersebut yang semula masih
hutan belantara ± 13 tahun dia bergelut dengan semak belukar untuk dibabatnya
dan dijadikan perkampungan yang dihuni oleh manusia, setelah berhasil merubah
hutan menjadi perkampungan mulailah ia membuat gubuk ia berda’wah yaitu sebuah
pesantren kecil terdiri dari sebuah langgar dan bangunan tempat tinggal
sederhana. Dan pondok pesantren tersebut terkenal dengan sebutan Pondok Nyelawe
(red jawa) atau Telu(red jawa) ini menjadi istilah masyarakat
setempat karna jumlah santri yang hanya 25 orang dan 3 lokal beserta
musholanya, hal ini terjadi pada tahun ± 1838.
Abdussalam
bukan hanya berdakwah dengan melakukan pengajaran saja,tapi sebagaiman lazimnya
ulama’ pada masa itu, beliau juga dibekali dengan ilmu kanuragan, ilmu
kekebalan, ilmu meramu jampi-jampi dan ilmu pengobatan. Hingga saat ini di
depan Kantor Pondok Induk Bahrul ‘Ulum masih terdapat lumpang, yakni
sebuah batu besar yang digunakan Abdussalam untuk menumbuk ramuan-ramuan.
Tentang ilmu kanuragannya, Abdussalam pernah membuktikannya ketika seorang
penjajah Belanda datang bersama kudanya tanpa sopan santun menghadap kepada
beliau, tanpa kompromi beliau menghentaknya hingga penjajah Belanda itu dan
kudanya mati seketika, saat itulah beliau juga dikenal dengan nama Mbah Shoihah (Arab
; hentakan). Nama Mbah Shoihah ini lebih dikenal dari pada nama beliau sendiri.
Mbah Shoihah
beristrikan wanita dari Demak bernama Muslimah, dari hasil pernikahannya ini
mereka dikaruniai beberapa putra dan putri yaitu : Layyinah, Fathimah, Abu
Bakar, Marfu’ah, Jama’ah, Muthohharoh,Ali, Ma’un, Fatawi dan Abu Syakur.
Generasi II (Klasifikasi Keilmuan)
Mbah Shoihah
seperi yang telah disebutkan di atas mempunyai dua puluh lima santri. Diantara
santri – santri nya, ada dua santri yang dianggap Mbah Shoihah mampu meneruskan
perjuangannya yakni ‘Utsman dan Sa’id. ‘Utsman dijodohkan dengan putri pertama
yang bernama Layyinah dan Sa’id dijodohkan dengan putri yang kedua yakni
Fathimah.
Kyai ‘Utsman
dan Nyai Layyinah dikaruniai seorang putri bernama Halimah yang di kemudian
hari namanya dirubah menjadi Winih, setelah menginjak remaja Winih dinikahkan
seorang pemuda dari Demak yang bernama Asy’ari. Dari garis Asy’ari inilah
lahir Hadhrotus Syaikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari. Pada
pengembangannya Kyai ‘Utsman terlebih dahulu meminta izin kepada mertuanya
untuk mengembangkan pondoknya di Gedang Timur (sebelah timur Gedung Serba Guna
Hasbulloh Sa’id).
Sedangkan
Kyai Sa’id dan Nyai Fathimah dikaruniai empat orang anak yakni: Kasminah,
Hasbulloh (sebelum haji bernama Kasbi), Syafi’i (sebelum haji bernama Kasdu)
dan ‘Ashim (sebelum haji bernama Kasmo). Dari jalur kyai Sa’id inilah yang
menurunkan generasi-generasi pembesar Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas
Jombang selanjutnya. Potensi yang dikembangkan Kyai Sa’id berpusat di Gedang
Barat.
Generasi III (Munculnya Dusun Tambakberas)
Setelah Kyai
‘Utsman wafat, tidak ada yang meneruskannya karena Kyai ‘Utsman tidak mempunyai
anak laki-laki, sedangkan Kyai Asy’ari (menantu Kyai ‘Utsman) membawa sebagian
santrinya yakni ke Desa Keras yang nantinya menjadi cikal bakal Pondok
Pesantren Tebuireng dan yang sebagiannya lagi diasuh oleh Kyai Hasbulloh (putra
kedua Kyai Sa’id).
Hasbulloh
muda sadar bahwa ia berada pada situasi dan kondisi yang saat itu masih sangat
jarang sekali ‘ulama, maka Hasbulloh muda membekali dirinya dengan berbagai
macam ilmu seperti ; ilmu kalam, ilmu fiqh dan ilmu kanuragan. Sehingga pada
saat Kyai Habulloh sangat disegani oleh orang lain bahkan pejabat-pejabat
pemerintah Hindia Belanda pada masa itu.
Kyai
Hasbulloh juga terkenal sebagai kyai yang kaya raya, mempunyai tanah pertanian
yang sangat luas sehingga dengan mudahnya beliau membangun pondok dan masjid
tanpa menerima sumbangan apapun dari orang lain. Saat itu gudang beras Kyai
Hasbulloh sampai-sampai tidak tersedia tempat lagi untuk dijadikan tempat
penyimpanan. Saat itulah Dusun itu mulai dinamai Dusun Tambakberas karena
melimpahnya stok beras Kyai Hasbulloh yang mengalir terus bagaikan tambak.
Perjuangan
Kyai Hasbulloh dalam membangun pondoknya ditemani seorang wanita yang bernama
Nyai Lathifah (asalnya A’isyah) yang berasal dari Desa Tawangsari, Sidoarjo.
Pernikahan Kyai Hasbulloh dan Nyai Lathifah ini dikaruniai putra dan putri
yakni ; Abdul Wahab, Abdul Hamid, Khodijah (istri KH. Bishri Syamsuri),
Abdurrohim, Fathimah (istri KH. Hasyim Idris), Sholihah, Zuhriyyah dan Aminatur
Rohiyyah.
Kyai
Hasbulloh juga menyadari betul bahwa untuk kelanjutan pondok yang diasuhnya
harus ada regenerasi, oleh sebab itu Kyai Hasbulloh mempunyai inisiatif untuk
mengirim saluruh putra-putrinya untuk belajar agama, bahkan yang tertua Abdul
Wahab pernah dikirim ke luar negeri (Makkah) beberapa tahun. Sang istri Nyai
Lathifah pun tidak tinggal diam, beliau juga ikut membantu perkembangan pondok
dengan mengikutsertakan para santri putri.
Generasi IV
Pada tahun 1914
KH. Abdul Wahab Hasbulloh (putra tertua Kyai Hasbulloh) kembali dari tugas
belajarnya di tanah suci Makkah, setelah kembali beliau mulai melakukan banyak
terobosan-terobosan dalam system pendidikan di pondok ayahnya, beliau mengubah
system pendidikan halaqoh menjadi system pendididkan madrasah. Pembaharuan yang
dilakuakan KH. Abdul Wahab Hasbulloh ini banyak mendapat tentangan keras dari
ayahnya sampai-sampai KH. Abdul Wahab Hasbulloh pernah ketika mengajar diusir
ayahnya sambil melemparinya dengan batu, karena menurut ayahnya cara yang
dilakukan KH. Abdul Wahab Hasbulloh menyerupai penjajah Belanda. Karena
pengajaran dengan system ini tidak direstui oleh ayahnya maka KH. Abdul Wahab
Hasbulloh memindah pengajiannya ke Dusun Brangkulon, tetapi tak lama kemudian
KH. Abdul Wahab Hasbulloh diizinkan kembali untuk mengajar dengan system
madrasah.
Dengan system
ini Pondok Pesantren Tambakberas berkembang dengan pesat dan pada tahun 1915
KH. Abdul Wahab Hasbulloh mendirikan madrasah yang pertama (yang sekarang ditempati
Gedung Yayasan Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang). Madrasah
tersebut diberi nama Madrasah Mubdil Fan.
Tahun 1920
Kyai Hasbulloh wafat, maka pondok pesantren ini dilanjutkan oleh KH. Abdul
Wahab Hasbulloh dengan dibantu adiknya yang kebetulan juga baru pulang dari
studinya di tanah suci, yakni KH. Abdul Hamid Hasbulloh dan KH. Abdurrohim
Hasbulloh. Dalam management pengelolaannya KH. Abdul Wahab Hasbulloh selaku
pengasuh utama menyerahkan urusan pondok pesantren kepada KH. Abdul Hamid
Hasbulloh dan KH. Abdurrohim Hasbulloh bertanggung jawab pada pengelolaan
madrasah, di samping juga karena KH. Abdul Wahab Hasbulloh kiprahnya lebih
banyak di organisasi social kemasyarakatan. Salah satu organisasi yang
didirikannya yakni Tashwirul Afkar yang berpusat di Surabaya dan pada tahun
1926 beliau bersama-sama dengan gurunya KH. M. Hasyim Asy’ari dan adik iparnya
KH. Bishri Syamsuri mendirikan organisasi Nahdhotul ‘Ulama yang kiparahnya
terus berkembang hingga saat ini.
2. Era
Pembaharuan Kedua
Pada tahun
1942 KH. Abdul Hamid Hasbulloh dan KH. Abdurrohim Hasbulloh memanggil
keponakannya yang bernama KH. Abdul Fattah Hasyim (putra KH. Hayim Idris) yang
saat itu masih mengabdi di pondok pesantren mertuanya KH. Bishri Syamsuri
(istri beliau yakni Nyai Musyarrofah Bishri) di Denanyar, sebagi upaya
regenerasi KH. Abdurroim menyerahkan estafet kepemimpinan madrah kepada KH.
Abdul Fattah Hasyim.
Saat itu
Jepang tengah berkuasa di Indonesia, semua madrasah ditutup tidak boleh
melakukan kegiatannya, akhirnya berkat jasa KH. Abdul Fattah Hasyim besama
beberapa pengasuh yang lain mengajukan banding sehingga dengan syarat-syarat
tertentu kegiatan di madrasah dapat diselenggarakan kembali.
Tahun 1943
KH. Abdurrohim Hasbulloh wafat, tugas-tugas beliau sepenuhnya langsung
diserahkan kepada KH. Abdul Fattah Hasyim dibantu sahabat setianya
KH. Abdul Jalil Abdurrohman (Bulak, Mojokrapak) dan madrasah pun berkembang
semakin pesat. Jumlah santri yang berdatangan semakin banyak sehingga KH. Abdul
Fattah Hasyim mendirikan gedung madrasah di dekat rumahnya yang oleh KH. Abdul
Wahab Hasbulloh diberi nama Madrasah Ibtida’iyyah Islamiyyah (MII) yang
merupakan cikal bakal Madrasah Ibtida’iyyah Bahrul ‘Ulum (MI-BU). Sekitar
tahun 1944/1945 lahir madrasah putri pertama yang diprakasai oleh Nyai Hj. Mas
Wardiyyah (istri KH. Abdurrohim Hasbulloh). Di samping itu pada tahun 1951 KH.
Abdul Fattaah Hasyim dengan restu KH. Abdul Wahab Hasbulloh mendirikan Pondok
Pesantren Putri Al-Fathimiyyah serta pada tahun 1956 mendirikan Madrasah
Mu’allimin Mu’allimat 4 Tahun.
Bahasa yang
lazim digunakan pada waktu itu adalah bahasa Jawa, tetapi di bawah pimpinan KH.
Abdul Fattah Hasyim mulai digunakan bahasa Indonesia terutama setelah beliau
mengikuti penataran di Jakarta, bahkan ketika bahasa Jepang juga dimasukkan
pada kurikulum madrasah.
Para santri
pada saat itu (setelah Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustu 1945) merangkap
tugas juga untuk berjuang melawan penjajah. Hampir setiap hari para santri
mendengar dentuman meriam, pondok pun beralih fungsi menjadi markas pasukan dan
para santri juga menggabungkan diri dalam Laskar Hizbulloh yang ketika itu
dipanglimai oleh KH. M. Wahib Wahab (putra tertua KH. Abdul Wahab Hasbulloh).
Tahun 1956 KH.
Abdul Hamid Hasbulloh wafat maka pengelolaan pondok dilanjutkan oleh KH. Abdul
Fattah Hasyim dan pada pengelolaan madrasah sempat terjadi kekosongan, Pak
Mamas dari Tulungagung pernah mengisi kekosongan ini tetapi tak bertahan lama
dan juga Abdurrohman Wahid (Gus Dur) yang padahal saat itu statusnya masih
sebagai santri di Tambakberas.
Setelah KH.
Ahmad Al-Fatih Abdurrohim (putra tertua KH. Abdurrohim Hasbulloh) pulang dari
studinya di Yogyakarta dan Abdurrohman Wahid telah kembali ke Jakarta maka
urusan madrasah akhirnya diserahkan kepada beliau, hal itu terjadi pada tahun
1961. KH. Ahmad Al-Fatih Abdurrohim membawa madrasah berkembang semakin pesat.
Pada tahun
1969 ketika Menteri Agama RI saat itu KH. M. Dahlan berkunjung ke Pondok
Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang telah disepakati bersama setelah
adanya rundingan keluarga besar Bani Hasbulloh untuk menegerikan Madrasah
Mu’allimin Mu’allimat Atas dengan perincian :
I. Kelas
I,II,III menjadi MTs AIN (Madrasah Tsanawiyyah Agama Islam Negeri) yang
dipimpin oleh Bapak Drs. H. M. Syamsul Huda SH. M.HI (Denanyar), madrasah ini
merupakan cikal bakal Madrasah Tsanawiyyah Negeri Tambakberas Jombang (MTsN
Tambakberas Jombang).
II. Kelas IV,V,VI
menjaddi MA AIN (Madrasah Aliyyah Agama Islam Negeri) yang dipimpin oleh KH.
Ahmad Al Fatih Abdurrohim, madrasah ini merupakan cikal bakal Madrasah Aliyyah
Negeri Tambakberas Jombang (MAN Tambakberas Jombang).
Pada tanggal
29 Desember 1971, KH. Abdul Wahab Hasbulloh selaku pengasuh utama Pondok
Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang dan salah satu pendiri Nahdhotul
‘’Ulama berpulang ke rohmatulloh, lalu Kepemimpinan Pondok Pesantren Bahrul
‘Ulum Tambakberas Jombang diteruskan oleh KH. Abdul Fattah Hasyim yang dibantu
oleh dzurriyyah Bani Hasbulloh yang lain dan KH. M. Wahib Wahab menjadi sesepuh
Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang. Pada tahun 1974 KH. Abdul
Fattah Hasyim mulai merintis Perguruan Tinggi yang diberi nama Ma’had Aly, tapi
itu hanya bertahan selama 2 tahun.
3. Era
Pembaharuan Ketiga
Pada tahun
1977 KH. Abdul Fattah Hasyim wafat, setelah beliau wafat tapuk kepemimpinan
Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang. Dilanjutkan oleh KH. M.
Najib Wahab (putra ketiga KH. Abdul Wahab Hasbulloh). KH. M. Najib Wahab
mempunyai reputasi cemerlang dalam membawa Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum
Tambakberas Jombang pada pentas nasional, beliau juga menjabat sebagai Rois
Syuriyyah PBNU Pusat. Pada taun 1985 beliau bersama-sama pengasuh yang lain
juga menghidupkan kembali Ma’had Aly menjadi Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyyah
(STIT) dengan menunjuk Drs. H. M. Syamsul Huda, SH. M.HI sebagai ketuanya.
Selain itu beliau juga pernah menjabat sebagai Ketua Robithoh Ma’ahid
Islamiyyah Pusat (RMI Pusat), beliau dengan kapasitasnya tersebut mengadakan
Usbu’ul Ma’ahid (Pekan Pondok Pesantren se-Jawa Timur). Dalam kepengurusan
Ta’mir Masjid Jami’ PPBU KH. M. Najib Wahab mengamanatkannya kepada KH. M.
Sholeh Abdul Hamid sebagai ketuanya,beliau juga mengadakan pengajian sentral
setiap Senin malam Selasa. Hingga tahun 1987 ketika KH. M. Najib Wahab wafat
maka sejak saat itu Kepemimpinan Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas
Jombang mulai menggunakaan system kepemimpinan kolektif.
Generasi V (Era Kepemimpinan Kolektif)
Seiring
dengan perkmbangan zaman Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang yang
dari tahun ke tahun berkembang semakin pesat, baik itu dalam segi kuantitas
santrinya maupun lembaga-lembaga formal yang ada di dalamnya, maka untuk
memaksimalkan potensi yang sudah ada diperlukan suatu management kepemimpinan
pondok pesantren yang konstruktif, jelas, terprogram dan terarah. Berangkat
dari ide dasar itulah maka kemudian lahir pemikiran untuk membagi management
kepemimpinan pondok menjadi :
1. Majelis
Pengasuh, yang berfungsi sebagaai legislative yang memiliki otoritas atau
pemegang kebijakan tertinggi.
2. Pengurus
Yayasan, yang berfungsi sebagai eksekutif yang menjalankan semua program
pengembangan dan pemberdayaan pendidikan semua lembaga yang berada di bawah
naungan Yayasan Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang.
3. Dewan
Pengawas, yang berfungsi sebagai udikatif yaitu mengawasi, memberikan
pertimbangan kepada Pengurus Yayasan dan memberikan masukan kepada Majelis
Pengasuh. Dibentuknya Dewan Pengawas dalam struktur management Pondok Pesantren
Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang yakni sejak tahun 2002 sebagai konsekuensi
diberlakukannya Undang-Undang RI NO. 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.
Hingga saat
ini, sejak kepemimpinan kolektif diterapkan, sudah mengalami tiga periode
kepemimpinan Majelis Pengasuh :
1. (Almaghfurlah)
KH. M. Sholeh Abdul Hamid, 1987-2006
Pada masa
kepemimpinan beliau, jabatan Ketua Umum Yayasan Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum
Tambakberas Jombang telah mengalami beberapa kali pergantian yaitu KH. Ahmad Al
Fatih Abdurrohim (1990-1994), Drs. KH. M. Hasib Wahab (1994-1998), Drs KH. M.
Fadhlulloh Malik (1998-2002) dan KH. Ahmad Taufiqurohman Fattah (beliau
menjabat selama dua periode, yakni tahun 2002-2006 dan 2006-2009).
Pada saat
Ketua Umum Yayasan Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang dijabat
oleh KH. Ahmad Taufiqurrohman Fattah, kemudian dimunculka peran yudikatif
(Dewan Pengawas) sebagai kosekuensi diberlakukannya Undang-Undang RI NO 16
Tahun 2001 tentang Yayasan dan sebagai ketuanya adalah Nyai Hj Mundjidah Wahab
untuk periode 2002-2006, dan ketika periode 2006-2009 Dewan Pengawas terdiri
dari KH. Fathulloh Abdul Malik, Drs. KH.. M. Faruq Zawawi,M.Ag, Nyai Hj. Salma
Nashir dan Ir. Edi Labib Patriaddin.
2. (Almaghfurlah)
Drs. KH. Amanulloh Abdurrohim, 2007-2008
Ketika KH. M.
Sholeh Abdul Hamid wafat pada hari Senin malam Selasa tanggal 16 Syawal 1427
H/7 November 2006 tapuk kepemimpinan Majelis Pengasuh dipegang oleh Drs. KH.
Amanulloh Abdurrohim, sedangkan Ketua Umum Yayasan masih dijabat oleh KH. Ahmad
Taufiqurrohman Fattah. Beberapa kebijakan penting yang diambil oleh
Drs KH. Amanullloh Abdurrohim saat menjabat sebagai Ketua Majelis Pengasuh
antara lain: diselenggarakannya Pertemuan Alumni Bahrul ‘Ulum Tingkat Nasional
yang akhirnya membentuk suatu wadah ikatan alumni yang bernama Ikatan Alumni
Bahrul ‘UIum (IKABU), selain untuk kembali mengharumkan nama Pondok Pesantren
Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang di bumi nusantara beliau juga mengadakan Pertemuan
‘Ulama dan Umaro’ se-Jawa dan Madura, satu program besar lain yang dicanangkan
beliau yakni pembangunan gedung serba guna yang direncanakan berfungsi sebgai
balai pertemuan maupun sarana olaraga santri Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum
Tambakberas Jombang. Namun sebelum pembangunan itu terealisir, beliau sudah
diapnggil oleh Alloh Subhanallohu Ta’ala pada 13 November 2007 pada usia 65
tahun, satu tahun persis setela meninggalnya KH. M. Sholeh Abdul Hamid.
Sejak Drs.
KH. Amanulloh Abdurrohim wafat, jabatan Ketua Majelis Pengasuh sesuai
kebijakan yang diambil semua anggota Majelis Pengasuh dikosongkan untuk
sementara waktu sampai berakhirnya kepengrusan tahun 2009 nanti dan tepat pada
tahun itu juga KH. Ahmad Taufiqurrohman Fattah wafat. Dan untuk menjalankan
roda organisasi di Majelis Pengasuh sesuai dengan mekanisme dan job yang telah
ditentukan maka untuk pengambilan kebijakan yang berkaitan dengan lembaga
pondok pesantren dipegang oleh KH. Abdul Nashir Fattah, sedangkan yang
berkaitan dengan lembaga formal dan hubungan dengan lembaga di luar Pondok
Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang dipegang oleh Drs. KH. M. Hasib
Wahab dan sebagai Katibnya adalah KH. M. Irfan Sholeh, S.Pd. Adapun anggota
Majelis Pengasuh sebagai berikut: Nyai Hj. Musyarrofah Fattah, Nyai Hj.
Mahfudhoh Aly Ubaid, Nyai Hj. Mundjidah Asy’ari, Nyai Hj. Hurun ‘Ain Malik,
Nyai Hj. Hafshoh Yahya, Nyai Hj. Zubaidah Nashrulloh, Nyai Hj. Muhtarroh
Al-Fatih,Nyai Hj Nur Fiatin Amanulloh, KH. M. Jamaluddin Ahmad dan KH. M.
Sulthon Abdul Hadi.
3. Drs. KH. M.
Hasib Wahab, 2009-2013
Pondok
Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang sampai dengan tahun 2012 ini telah
berusia 187 tahun sedangkan madrasahnya telah berusia 97 tahun. Di usianya yang
telah jauh melebihi bangsa ini Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas
Jombang telah berkembang pesat dengan beragam jenis dan jenjang pendidikan.
Hingga saat ini Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang memiliki 33
unit asrama pondok pesantren dan 19 unit pendidikan formal mulai pra sekolah sampai
perguruan tinggi. Selanjutnya mulai tahun itu pula (2009) melalui Musyawarah
Besar (MUBES) Bani Hasbulloh Sa’id yang merupakan forum tetinggi Yayasan Pondok
Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang disepakatilah bahwa estafet
kepemimpinan (sepeninggal Almaghfurlah Drs. KH. Amanulloh Abdurrohim dan
Almaghfurlah KH. Ahmad Taufiqurrohman Fattah) melalui rundingan dan musyawaroh
maka Ketua Majelis Pengasuh dijabat oleh Drs. KH. M. Hasib Wahab, KH. M. Irfan
Sholeh sebagai Ketua Umum Yayasan Pondok Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas
Jombang dan Nyai Hj. Hizbiyyah Abdurrohim sebagai Ketua Umum Yayasan
Universitas Bahrul ‘Ulum (UNIBA) untuk masa khidmah 2009-2013. Adapun nama-nama
anggota Majelis Pengasuh adalah: KH. Abdul Nashir Fattah (Wakil Ketua), KH. M.
Fadhlulloh Malik (Wakil Ketua), KH. M. Jamaluddin Ahmad, KH. M. Sulthon Abdul
Hadi, Nyai Hj. Mahfudhoh Aly Ubaid, Nyai Hj. Mundjidah Wahab, Nyai Hj. Hurun
‘Ain Malik, Nyai Hj. Hafshoh Yahya, Nyai Hj. Muhtarroh Al-Fatih, Nyai Hj.
Zubaidah Nashrulloh dan H M. Sholahul ‘Aam sebagai Katib.
C. SEJARAH NAMA
DAN LAMBANG PONDOK PESANTREN BAHRUL ‘ULUM
Sejarah
panjang pondok pesantren ini, sewak awal pendiriannya oleh Mbah Shoihah,
dikenal dengan nama Pondok Telu atau Pondok Selawe.
Dan pada masa Kyai Hasbulloh pondok pesantren ini dikenal dengan sebutan Pondok
Tambakberas. Hingga pada masa KH. Abdul Wahab Hasbulloh pada tahun 1965 empat
orang santri beliau dipanggil menghadap (sowan), keempat santri beliau tersebut
adalah Ahmad Junaidi (Bangil), M. Masrur Dimyati (Dawar Blandong Mojokerto),
Abdulloh Yazid Sulaiman (Keboan Ngusikan Jombang dan M. Syamsul Huda As.
(Denanyar Jombang). Waktu itu yang menjabat sebagai sekretaris pondok adalah
Ahmad Taufiq dari Pulo Gedang. Keempat santri beliau ini megajukan tiga nama
alternative nama pondok pesantren yaitu : Bahrul ‘Ulum, Darul Hikmah dan
Mamba’ul ‘Ulum.
Dari ketiga
nama yang diajukan, KH. Abdul Wahab Hasbulloh memilih nama Bahrul ‘Ulum yang
artinya Samudera Ilmu yang kelak diharapkan Tambakberas benar-benar menjadi
samudera ilmu. Setelah itu beliau mengadakan sayembara pembuatan lambang pondok
pesantren. Setelah didapatkan pemenang, KH. Abdul Wahab Hasbulloh meminta pada
lambang pondok pesantren tersebut disisipkan ayat Al-Qur’an yakni Surat
Al-Kahfi 109, bahkan untuk proses ritualnya KH. Abdul Wahab Hasbulloh
memerintahkan salah seorang santri yang bernama M. Djamaluddin Ahmad (Pengasuh
Bumi Damai Al-Muhibbin sekarang) asal Gondang Legi Nganjuk untuk membacakan
Manaqib. Hingga saat ini nama dan lambang tersebut abadi menjadi identitas
resmi, Pesantren Bahrul ‘Ulum Tambakberas Jombang.
0 komentar:
Post a Comment